PERJUANGAN KELAS MELAWAN GLOBALISASI

Pengantar

Globalisasi[1] adalah terminologi yang digunakan oleh para ahli ekonomi, media dan para politisi untuk mendeskripsikan proses memperkuat ekonomi global yang juga dikenal sebagai Pasar Bebas atau neo-liberalisme. Globalisasi dimotori oleh beberapa institusi-institusi ekonomi global seperti World Trade Organization (WTO), World Bank (Bank Dunia) dan International Monetary Fund (IMF).

Menurut para pengagum Pasar Bebas ini, kemakmuran seluruh publik akan terjadi apabila pasar dibebaskan dari seluruh tekanan, sehingga para pelaku pasar akan semakin kompetitif terhadap satu sama lain, yang mana pada akhirnya diharapkan kemakmuran yang didapat oleh pelaku pasar akan menetes ke bawah (sesuatu yang dalam bahasa ekonomi dikenal sebagai trickle-drop effect). Kompetisi ini hanya akan sempurna apabila pasar dibuka seluas-luasnya tanpa ada batasan dan regulasi (termasuk batas negara dan aturan pemerintah yang menghambat terjadinya proses jual-beli tingkat internasional). Setiap produk yang diperjualbelikan akan diberi kesempatan untuk bersaing secara bebas di pasaran. Tapi masalahnya, dalam prakteknya, korporasi-korporasi tersebut di seluruh belahan dunia harus mencari tempat di mana sumber daya alam dan upah buruhnya adalah yang paling murah; yang mana seringkali hal tersebut berarti juga relokasi industri-industri lokal di negara-negara Dunia Ketiga.

Dibentuk di tahun 1944, World Bank dan IMF memfasilitasi ekonomi global dengan memberi pinjaman kepada negara-negara Dunia Ketiga sejumlah besar dana dalam mata uang asing. Biasanya pinjaman tersebut membawa banyak kepentingan lain di belakangnya. Kepentingan-kepentingan tersebut sangat menguntungkan korporasi-korporasi multinasional dalam memapankan jalannya memasuki negara-negara Dunia Ketiga dan membuka proyek-proyeknya yang biasanya selalu merusak lingkungan (seperti industri perhutanan, pertambangan, pembangunan dam, dll) serta mengeksploitasi penduduk daerah tersebut sebagai para pekerjanya.

World Bank dan IMF juga bertanggung jawab dalam mengumpulkan dana-dana hutang negara Dunia Ketiga. Di karenakan hutang yang dimiliki oleh negara-negara tersebut semakin lama semakin membengkak dan kemungkinan untuk dapat membayarnya semakin kecil, biasanya Negara-negara Dunia Ketiga tersebut tak mampu membayarnya dan harus mencari pinjaman lain untuk melunasi hutang yang telah ada tersebut. Lingkaran jerat hutang tersebutlah yang sebenarnya menjauhkan negara-negara Dunia Ketiga dari “kemapanan” karena demi membayar hutang-hutangnya tersebut, dana yang sebenarnya diperuntukan bagi kepentingan penduduk harus dikurangi bahkan dihapuskan. Karena hal ini juga, maka negara-negara Dunia Ketiga terpaksa harus mengikuti syarat yang diberikan oleh negara-negara donor untuk memperbolehkan korporasi-korporasi multinasional masuk ke negara tersebut dan dengan bebas beroperasi di sana, termasuk untuk menentukan upah para pekerjanya dan harga sumber daya alam yang hendak dibelinya.

Sementara WTO, yang semakin mapan, adalah badan institusi internasional yang berhak untuk menentukan apa yang akan terjadi pada satu negara saat negara tersebut akan menjalin hubungan dagang dengan negara lainnya. Inilah yang disebut dengan WTO Tribunal. Agenda WTO adalah meningkatkan terjadinya perdagangan global—yang berarti juga mengurangi hukum-hukum dagang tiap negara atau apapun yang dianggap menghalangi terjadinya hubungan dagang. Hambatan dagang ini seperti yang dideskripsikan oleh tiga anggota Tribunal, dapat diinterpretasikan antara lain hukum kesehatan makanan yang diproduksi, hukum lingkungan yang melindungi spesies-spesies yang hampir punah, dan juga hukum yang melindungi HAM. Semua hukum tersebut harus dihapuskan saat dianggap menghalangi terjadinya proses dagang. Pendeknya, WTO memiliki otoritas sendiri yang lebh kuat dari otoritas negara manapun dalam menentukan hukum dan undang-undang yang berlaku di sebuah negara.

Secara esensialnya, WTO dan sistem Pasar Bebas, hanya akan berdampak sangat besar pada penghancuran lingkungan hidup, pengeksploitasian tenaga kerja dan pelecehkan hak-hak asasi manusia. Satu-satunya yang menjadi prioritas bagi Globalisasi hanyalah kepentingan bisnis bagi mereka, korporasi multinasional yang memiliki profit terbesar yang barang tentu korporasi yang paling kaya. Secara singkatnya, Globalisasi atau Pasar Bebas adalah juga berarti kebebasan bagi ekonomi itu sendiri—inilah imperialisme gaya baru, inilah Neoliberalisme.

Teori Ekonomi Kapitalisme

Secara teoritik, pada dasarnya kapitalisme bersumber dan berakar pada pandangan filsafat ekonomi klasik, terutama ajaran-ajaran yang tertuang dalam Wealth of Nation yang ditulis oleh Adam Smith. Dua pemikir lainnya adalah David Ricardo dan James Mill yang juga berprofesi sama dengan Adam Smith sebagai pemikir ekonomi klasik. Para pemikir tersebut melandaskan pemikirannya pada filsafat ekonomi liberalisme yang percaya pada kebebasan individu, pemilikan pribadi, dan usaha swasta.

Dalam perjalanannya, teori ini berevolusi menjadi beberapa bentuk. Pertama, laissez-faire yang berarti perlunya pembatasan atau memberikan peran yang sangat minimum kepada pemerintah dalam bidang ekonomi. Kedua, ekonomi pasar diletakan di atas sistem persaingan atau kompetisi bebas dan kompetisi sempurna. Ketiga, ekonomi akan berjalan lancar dan selalu mengalami penyesuaian diri jika pemerintah tidak melakukan intervensi (kondisi ini disebut full employment). Keempat, memenuhi kepentingan individu adalah sama dengan pemenuhan masyarakat. Selain percaya bahwa hukum ekonomi berlaku secara universal, mereka juga percaya pada hukum pasar, yakni supply creates its own demand.[2]

Teori division of labour (salah satu teori yang dihasilkan oleh Adam Smith) menjelaskan bahwa betapa pentingnya buruh sebagai sumber kekayaan bangsa[3]. Yang dimaksudkannya adalah spesialisasi buruh industri—meskipun pembagian kerja ini melahirkan banyak masalah seperti kerja yang monoton, rutin, membosankan, terasing, statis, serta resiko bagi buruh kehilangan pekerjaan. Adam Smith meyakini bahwa dengan pembagian kerja inilah wealth of nation akan terjadi. Tapi Adam Smith juga mengakui bahwa sistem ekonomi yang menjadi kesejahteraan bangsa sebagai keringat para buruh.
Ia jugalah pemikir pertama yang mengarahkan tujuan produksi kepada konsumen. Baginya, konsumsi adalah tujuan utama semua proses produksi, yang berarti motivasi produsen harus ditujukan pada pemenuhan konsumen.

Peran dan Kedudukan Negara

Analisis marxian “klasik” sangat memfokuskan dan direduksi pada perubahan struktur relasi ekonomi. Tentu saja, dalam gaya yang seperti itu, aspek-aspek lain seperti kebudayaan, hegemoni ideologi, pendidikan, diskursus, relasi gender, dll. tidak diperhitungkan dalam perubahan sosial dengan seksama. Yang dianggap sebagai pelaku utama perubahan sosial adalah gerakan buruh atau dalam kalimat lain, buruh adalah peran sentral dalam perubahan sosial. Sistem kapitalisme, bagi marxian “klasik”, direduksi menjadi hanya hubungan buruh-majikan. Pandangan ini direvisi, salah satunya oleh Althusser, yang beranggapan bahwa sistem kapitalisme merupakan saling keterkaitan hubungan yang kompleks, yang melibatkan banyak aspek seperti, pengetahuan dan teknologi pertanian; kebijaksanaan politik pemerintah; penanaman modal dan kapital multinasional, serta proses eksploitasi kelas. Kelas di sini didefinisikan sebagai proses dalam masyarakat yang di satu pihak terdapat anggota masyarakat yang menduduki posisi tertentu dalam proses tersebut, yakni yang bekerja dan menghasilkan nilai lebih, sedangkan di pihak lain terdapat anggota masyarakat yang tidak bekerja tetapi mengambil nilai lebih dan mendistribusikannya (Resnick & Wolf, 1987).

Kaum sosialis dan marxis-leninis—atau secara umum disebut kaum Kiri—percaya bahwa dengan merebut kekuasaan negara (dengan cara apapun) pertentangan kelas-kelas dapat dihapuskan sebagaimana tertuang dalam buku berjudul Lenin: Pikiran, Tindakan, dan Ucapan[4], “masyarakat lama dibangun berdasar prinsip merampok atau dirampok, bekerja pada orang lain atau membuat orang lain bekerja padamu, menjadi pemilik budak atau seorang budak... kondisi seperti itulah yang merendahkan umat manusia, dan perlu ada perjuangan untuk meninggikan martabat manusia, yaitu revolusi.” Dalam buku yang berbeda, Franz M. Suseno mendeskripsikan, “Dengan revolusi inilah kaum proletar akan merebut kekuasaan negara dan mendirikan pemerintahan diktator proletariat. Artinya dengan menggunakan kekuasaan negara, kaum proletar akan menindas kaum kapitalis agar mereka itu jangan sampai menggunakan kekayaan dan fasilitas yang dimilikinya untuk menggagalkan revolusi proletariat dan mengembalikan keadaan lama (F.M. Suseno 1999: 169).”

Pada kenyataan yang kita temui, seperti pada Uni Sovyet sebagai negara pertama yang mengembangkan sosialisme negara (etatisme), hal tersebut jauh dari demokrasi politik. Zaman Stalin semakin mengukuhkan pandangan bahwa sosialisme negara hanyalah bentuk yang lain dari penindasan. Negara dikontrol oleh self-perpetuating kaum elit, pencapaian bentuk tertinggi tergantung pada teknik birokrasi dan koneksi keluarga. Sementara dalam desentralisasi di Cina lebih memungkinkan terjadinya kebebasan politik pada level individu dan kelompok. Akan tetapi, di Cina terdapat tendensi pengkultusan individu terhadap Mao dan pemaksaan perilaku untuk menyesuaikan diri pada interpretasi pikiran Mao.

Sementara itu, pada tataran kontemporer, perjuangan kelas di Venezuela boleh jadi yang paling advance, yang menjadi kebanggaan kaum kiri di tengah evolusi kapitalisme yang juga advance—terlebih setelah kegagalan kudeta yang disponsori oleh CIA pada tahun 2002 lalu, yang seolah-olah membuktikan bahwa publik sangat mendukung Chavez. Kemajuan lain adalah direbutnya perusahaan-perusahaan multinasional satu persatu. Tapi kasus di Venezuela ini sangat terbuka untuk menjadi konklusi yang serupa dengan pengkultusan Mao di Cina—jika publik tidak mulai untuk membangun organisasi swakelolanya sendiri, yang otonom dan tidak mudah diintervensi oleh pemerintah atau organisasi lainnya.

Masalah yang bisa jadi sangat krusial adalah jajaran pemerintahan Chavez sendiri di mana terdapat para menteri yang berhaluan Kanan dan Kiri dalam satu kabinet. Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Ekonomi, Menteri Hankam semua adalah orang-orang dari pihak Kanan, termasuk juga menteri kesehatan. Menteri Tenaga Kerja berdiri di tengah-tengah. Masih ada dua atau tiga menteri yang berhaluan Kiri seperti Menteri Ekonomi dan Industri, tetapi mayoritas kabinet berpihak di Kanan—bukan Kanan pro-neoliberal tapi Kanan nasionalis yang tetap berada di Kanan. Chavez menyandarkan dirinya kadang ke Kiri dan kadang pada sektor militer di Kanan. Hal ini menciptakan sebuah pemerintahan yang mirip dengan Bonapartisme Marx, sebuah balance of power, penengah dan penyeimbang antara dua kekuatan yang berbeda. Mengutip apa yang dikatakan oleh Roland Denis yang aktif dalam Movimiento 13 de Abril Comuneros (Komune Gerakan 13 April), “Aku tidak tahu pasti apakah Hugo Chavez akan mempertahankan politik Kiri-nya. Ini semua dapat berubah. Aku telah melakukan diskusi dengan Eric Toussaint, dan kami menemukan sebuah kesamaan perilaku antara Kuba dan Venezuela saat diadakan pertemuan WTO di Hongkong. Venezuela mengambil posisi prinsipil yang beroposisi pada seluruh agenda privatisasi layanan publik, kesehatan, pendidikan, dsb. Tapi pada akhirnya Kuba dan Venezuela juga menandatangani persetujuan.” (International Socialism no.101, Januari 2006).

Chavez memang berhasil dalam membangun wacana di kalangan publik, tapi masalahnya ia juga masih terjebak dalam konteks logika nasionalisme yang memposisikan negara sebagai sebuah bagian yang sakral dari prakteknya. Wacana mereka memang mirip dengan wacana pembebasan, tapi tentu saja dengan demikian praktek yang terjadi tidak akan sama dengan praktek pembebasan. Mereka berusaha menginkorporasikan berbagai sektor gerakan popular ke dalam pemerintahan, mengikatnya erat. Wacana ini juga yang seringkali menjadi ilusi dan jebakan dari sebuah pembebasan: wacana program popular yang memfokuskan diri pada nasionalisme, bukannya kelas.

Pusat perjuangan, baik yang tercadar maupun yang terbuka, sedikit demi sedikit mulai pecah antar para representatif kelas penguasa baru dan para pekerja yang berjuang atas isu swakelola. Para Chavista menyadari penuh hal ini, sehingga mereka berusaha merebut kembali akar rumput dengan menggunakan bahasa-bahasa radikal, berorasi tentang “kekuatan popular”, “parlementer di jalanan” (di mana para elit datang ke jalan-jalan dan mendengarkan berbagai keluhan publik). Dalam hal ini kecenderungan tentang pemerintahan yang lebih baik, lebih sehat, lebih mendorong partisipasi, memang ada. Tetapi secara keseluruhan, yang dibutuhkan adalah inisiatif untuk sebuah gerakan pembebasan yang nyata yang tak dapat diperlambat hanya dengan dikuasainya sebuah negara. Para Chavista tersebut memang tidak berbohong, tapi itu semua tidak cukup bagi kepentingan kelas pekerja.

Contoh kasus, pada akhir tahun 2005 di mana banyak pekerja tambang emas di selatan Venezuela berada dalam pusaran konflik melawan multinasional, 14 pekerja tambang telah terbunuh tapi hanya sedikit orang yang tahu tentang hal ini karena tak ada media yang memberitakannya termasuk media pemerintah. Bulan November 2005 terjadi pembunuhan oleh sicarios (preman yang dipersenjatai) dan paramiliter yang dibiayai serta dipersenjatai oleh multinasional sehingga terjadi konfrontasi yang sengit. Seluruh pekerja tambang adalah pendukung Chavez, terlihat dalam aksi mereka yang membawa foto Chavez saat mobilisasinya. Tetapi masalahnya belum ada sedikit pun tindakan dari negara.

Maka pihak oposisi yang kini berada di Venezuela mulai terbentuk babak keduanya. Di satu sisi, dilancarkan oleh para pendukung kebijakan neo-liberal dan kaum kaya raya yang pro-kudeta militer sayap Kanan tahun 2002, yang berusaha mengembalikan Venezuela pada bentuk lamanya. Di sisi lain, adalah para pekerja yang mempertahankan diri mereka dalam bentuk organisasi-organisasi otonom, melawan kaum neoliberal dan korporat sekaligus menentang kemandegan pemerintahan Chavez; merekalah yang menjadi kontestan utamanya. Seperti Movimiento 13 de Abril Comuneros—bukan sebuah partai politik—yang beranggotakan 1000-2000 orang pekerja dan penganggur ataupun serikat pekerja yang menduduki pabrik kertas di Invepal. Gerakan 13 April adalah organisasi pekerja dan penganggur yang beraktifitas di tempat-tempat kerja dan lingkungan ketetanggaan, mendiskusikan relasi kerja dan pekerja, serta memiliki ide untuk membentuk sebuah gerakan pekerja popular. Sekelompok intelektual juga membantu pembentukan formasi ini tetapi organisasi ini tetap otonom. Sebagian proyek mereka adalah pendudukan pabrik. Mereka beraliansi dengan Chavez tapi secara taktis, bukan strategis. Mereka memang mempertahankan posisi Chavez dan menjadikannya simbol kekuatan, tapi mereka tetap menyimpan banyak keraguan terhadap absolutisme kekuatan presiden sebuah negara. Sementara Invepal, adalah pabrik kertas yang berjarak 100 mil dari Caracas, ibukota negara Venezuela. Para pekerja di sana telah mengambilalih pabrik secara penuh sejak akhir tahun 2004 dan memaksa negara untuk mendanai pengembangan hariannya. Profit yang dihasilkan dibagi antara para pekerja pabriknya sendiri yaitu 49% dan 51% diserahkan untuk negara. Tidak puas dengan hal ini, para pekerja mendeklarasikan bahwa mereka menginginkan kepemilikan atas pabrik 100%, di mana dari profit tersebut, para pekerja sendirilah yang berhak menentukan kemana dana tersebut akan disalurkan untuk memperkuat arus revolusioner.

Jalan satu-satunya menuju masyarakat bebas, di Venezuela atau di manapun, berjalan melewati, “sebuah pakta ofensif dan defensif,” sebagaimana seorang intelektual Hungaria kemukakan saat insureksi melanda negara Eropa Timur tersebut tahun 1956.

Di negara tetangganya, Bolivia, Evo Morales memang melancarkan isu nasionalisasi tambang minyak bertepatan dengan perayaan May Day 1 Mei 2006 lalu, tapi kebanyakan mengesampingkan fakta bahwa keputusan tersebut dilakukan atas desakan organisasi-organisasi popular otonom yang merasa bahwa pemerintah Morales semenjak kemenangan atas pemilu tak sekalipun mendorong pada isu utama masyarakat Bolivia seperti pengambilalihan kontrol dari seluruh badan multinasional. Publik di Bolivia telah mengerti penuh soal peran yang harus mereka ambil. Begitu juga di Venezuela. Saat kondisi-kondisi revolusioner praksis merebak, tak ada satu teoripun yang dirasa terlalu sulit. Villiers de l’Isle-Adam, seorang saksi mata dari Komune Paris, mencatat, “Untuk pertama kalinya seseorang akan mendengar para pekerja bertukar opini tentang berbagai masalah yang selama ini hanya diperdebatkan oleh para filsuf.”

Realisasi filsafat, kritik dan rekonstruksi atas segala nilai, kebiasaan dan perilaku yang didorong oleh kehidupan yang teralienasi—adalah program utama dari swakelola umum. Para militan Kiri yang birokratis akan berkata bahwa tesis seperti di atas memang benar, tapi itu semua belum tiba waktunya untuk berbicara pada massa tentang segala-galanya. Tapi mereka yang melancarkan argumen tersebut tidak memperhatikan bahwa waktu tersebut telah tiba, dan mereka malah beroposisi menentang tibanya waktu tersebut, dengan alasan Leninis klasik, “Belum waktunya bagi massa untuk mengetahui semuanya.” Adalah penting untuk memberitahukan pada publik tentang apa yang sesungguhnya mereka lakukan. Para intelektual spesialisasi revolusi adalah para spesialis dari kesadaran palsu, yang pada momen-momen revolusioner akan menyadari bahwa mereka telah membicarakan sesuatu yang berbeda dengan yang mereka lakukan. Alienasi politik adalah juga tetap alienasi. Dan swakelola tidak dapat berharap banyak dari cucu-cucu Bolshevik, baik yang terang-terangan mengaku Leninis maupun kaum Kiri secara umum.

Swakelola harus menjadi bagian dari proses maupun akhir perjuangan kelas. Dan di Venezuela, seperti juga di Bolivia, ia adalah satu-satunya kekuatan radikal modern yang paling advance. Basis-basis produksi swakelola akan secara spontan terbentuk begitu momen revolusioner hadir—seperti juga di Spanyol tahun 1936, Paris tahun 1871, Russia 1917 atau juga di pabrik-pabrik yang ditinggalkan di Argentina 2001 lalu—saat para pemiliknya melarikan diri mengikuti kekalahan politisnya. Pendudukan tersebut adalah sebuah liburan dari kepemilikan dan penindasan, sebuah rehat temporer dari kehidupan yang teralienasi.[5]

Di luar kekelaman ekonomi dunia tersebut, Globalisasi memiliki makna yang positif bagi peradaban manusia. Sebut saja kecenderungan Globalisasi untuk mengangkangi artefak budaya modern yang dikenal sebagai nasionalisme dan batas-batas kenegaraan dan penyusutan otoritas negara—yang kini memiliki peran sebagai kepanjangan tangan atau satelit dan kuli administrasi dari beragam institusi global seperti, IMF, Bank Dunia, WTO, bahkan korporasi multinasional.

Dalam konteks-konteks tertentu, Globalisasi merupakan langkah maju ketika kita tidak lagi menginginkan nostalgia dengan struktur kekuasaan yang terjadi sebelumnya; ketika kita menolak strategi-strategi reaktif dari politik lama yang mencoba untuk membangkitkan kembali negara nasional untuk melawan invasi Globalisasi Kapital—dikotomi global-lokal adalah suatu ilusi karena lokal-global hanyalah suatu identifikasi simbol dan imaji yang diproduksi pada zaman-zaman tertentu. Batasan geografis, pembangunan identitas negara-bangsa merupakan mitos-mitos modern yang megah sekaligus rapuh. Kita tidak dapat menjamin bahwa kelokalan menawarkan lebih banyak potensi pembebasan. Kesalahan fatal lainnya dari dikotomi seperti di atas adalah semangat untuk memunculkan kembali—sekaligus melestarikan—identitas lokal yang diproteksi dari pengaruh luar, yang seringkali hanya merupakan pembangkitan kembali primordialisme, yang biasanya hanya menguntungkan pihak tertentu saja.

Catatan:
  1. Affinitas. Globalisasi, dikarenakan penggunaannya yang didominasi untuk kepentingan-kepentingan kapitalis, sebagai terminologi telah menjadi sedemikian rancu. Jika kita memaknainya sebagai kosa kata yang merunut pada kata “global” dan imbuhan yang membuat kata dasar “global” menjadi kosa kata aktif, Globalisasi dapat dimaknai sebagai suatu fenomena ontologis (keterjadian) yang merujuk pada menjadinya tatanan masyarakat berdasarkan beragam hubungan timbal balik di antara subyek-subyek di berbagai penjuru dunia. Maka dari itu, selain dari Globalisasi dalam pemaknaan Globalisasi rezim kapitalis, kita juga mendapati beragam penggunaan lain dari terminologi Globalisasi, di antaranya adalah “Globalize Justice” (Globalkan Keadilan), “Globalize Resistence” (Globalkan Resistensi), yang selalu merujuk pada resistensi rezim kapitalis.
  2. Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi; Insist Press, Sep 2006
  3. Ibid
  4. Edy Haryadi, Lenin: Pikiran, Tindakan, Ucapan; Komunitas Studi Untuk Perubahan, Sep 2000
  5. Rikki Rikardo, Perjuangan Kelas di Venezuela; Indymedia Jakarta
Diambil dari: KATALIS
Posting tanggal: 10 November 2008
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...