PERLAWANAN PETANI: Sebuah Usaha Merebut Keadilan Ekologis

Mereka campakkan ke bui, dengan ancaman paling keji. Orang miskin yang menghimpun ranting kering untuk bikin api; Tapi mereka biarkan usahawan kayu kaya-raya bebas merdeka. Menebang rebah dan merampoki pohonan yang hidup sentosa. [2]

Berbicara mengenai sumberdaya alam (SDA), banyak pihak yang harus diperhatikan di dalamnya. SDA menjadi investasi cuma-cuma, karena keberadaannya merupakan hasil dari pembentukan secara alami. Awal muasal inilah yang memiliki keuntungan besar bagi siapapun yang berada di lingkaran SDA.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwasanya sengketa terhadap SDA terus terjadi, baik masa kolonial atau kekinian di Indonesia. Utamanya sumberdaya hutan (SDH). [3] Telah terjadi dominasi penguasaan SDH oleh negara. Sebenarnya kondisi ini merupakan warisan yang telah diturunkan oleh kekuasaan sebelum terjadinya pengalihan penguasaan dari kolonial kepada negara yang berdaulat. Bahkan setelah kemerdekaan, dominasi negara semakin kuat. [4]

Praktek dominasi negara terhadap SDH sebenarnya tidak semata-mata dilatarbelakangi motif eksploitasi terhadap sumberdaya belaka. Terdapat latarbelakang penting yang menciptakan diskursus yang terjadi. Dunia pendidikan mempunyai peranan penting terhadap terciptanya diskursus pengelolaan hutan yang selama ini ada, yaitu melalui „keilmuan kehutanan‟ yang oleh Scott digambarkan dari anggapan kerajaan –Prusia– bahwa SDH merupakan produsen kayu yang mampu memberikan pemasukan besar terhadap negara.[5] Oleh karena itu, usaha proteksi yang kuat terhadap SDH oleh negara dipraktekkan dengan benar. [6]

Peluso (2006:1-36) menceritakan telah terjadi kegagalan negara dalam mengelola SDH, khususnya di Pulau Jawa.[7] Kegagalan ini tidak semata terletak pada kesalahan aplikasi dari keilmuan yang telah dianut. Tetapi karena adanya keengganan negara dalam memandang masyarakat sekitar hutan dalam mengelola SDH. 

Peluso (2006:1-36) menyebutkan telah terjadi perlawanan petani terhadap negara.[8] Perlawanan tersebut tidak lain karena adanya pemutusan akses masyarakat sekitar hutan terhadap SDH yang selama ini menjadi tempat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini dikarenakan terjadi perbedaan diskursus dalam mengartikan SDH. [9]

Sebenarnya banyak sekali bentuk pemberontakan petani kepada negara, khususnya terkait dengan SDH. Elson (1984); Peluso (1985); dan Teguh (1985) menyebutkan bahwa pembakaran yang dilakukan oleh petani adalah sebuah bentuk perlawanan yang dilakukan kepada negara atas dominasi SDH, begitu juga Sartono (1973); Scott (1976); Adas (1981) menyebutkan petani juga melakukan perlawanan dengan cara pemberontakan dan pembunuhan.[10] Bahkan beberapa tulisan menyebutkan, petani tidak bergabung dalam organ pemerintah desa, baik kegiatan atau strukturnya juga merupakan bentuk perlawanan terhadap negara. 

Keadaan kekinian terhadap pengelolaan SDH sebenarnya merupakan bentuk penghianatan terhadap amanah konstitusi dan pendiri negara ini. Bung Hatta telah berpesan sangat perlu upaya dalam menyelesaikan hak-hak rakyat atas tanah, hal serupa juga disampaikan oleh M. Tauchid yang menyatakan bahwa pemerasanpemerasan terhadap agrarian harus segera dihentikan.[11] Amanah ini sebenarnya telah dilanjutkan dengan terbentuknya Panitia Agraria di Yogyakarta sejak 1946, dan direalisasikan dengan disahkannya UUPA 1960.[12]

Sebenarnya UUPA 1960 telah memberikan nafas lega terhadap keadilan ekologis bagi masyarakat kecil. Tetapi kenyataan selanjutnya adalah, negara sekali lagi menghianati konstitusi sendiri dengan disahkan beberapa undang-undang yang bermotif sektoral.  Selama negara masih mempunyai diskursus untuk mendominasi SDA di negeri ini, maka akan tetap terjadi ketimpangan dalam pengelolaan SDA. Perlawanan petani dalam berbagai bentuknya akan tetap terjadi jika tidak ada ruang bagi petani dalam akses SDA. Petani akan menuntut dan menggugat negara agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Yaitu dengan perlawanan yang ditunjukkan. Diam bukan berarti pasrah. Bagi petani dan masyarakat sekitar hutan, diam bisa merupakan bentuk perlawanan. Dan menutup akses petani sekitar desa merupakan kejahatan yang tidak bisa ditoleril. Dan sampaikapan pun, petani akan menuntut dan merebut keadilan ekologis kepada negara.

Footnote:
  1. Peluso (2006) dalam Hutan Kaya, Rakyat Melarat.
  2. Chambers (1983) dalam Peluso (2006:24)
  3. Dalam ulasan ini akan menyampaikan permasalahan dominasi negara yang dipraktekkan terhadap sumberdaya hutan (SDH) di Pulau Jawa.
  4. Scott (2007) dalam Seeing Like a State.
  5. Ibid.
  6. Penulis mendifinisikan „dipraktekkan dengan benar‟ adalah SDH dijauhkan dari masyarakat  sekitar hutan. Sehingga akses SDH tertutup untuk masyarakat sekitar hutan.
  7. Lebih jelasnya dapat dibaca di Hutan Kaya, Rakyat Melarat oleh Peluso (2006).
  8. Ibid.
  9. Negara  mempunyai pandangan,hutan  adalah  sumberdaya yang harus diproteksi dan dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran masyarakat. Dalih ini sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Penutupan akses terhadap SDH yang seharusnya menjadi tindakan kejahatan  malahdianggap sah, karena telah ada diskursus sebelumnya. Sebaliknya masyarakat sebenarnya telah mempunyai kelembagaan  lokal tradisional mapan terhadap pengelolaan SDH dianggap illegal oleh negara.
  10. Lebih jelasnya dapat disimak di Peluso (2006:22), Hutan Kaya, Rakyat Melarat.
  11. Pengantar Tjondronegoro pada Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi (2002).
  12. Ibid
Tulisan disusun oleh: Adi Dzikrullah Bahri 

Sebuah resume “Berbagai Struktur Penguasaan, Aneka Ragam Perlawanan” bagian dari  Hutan Kaya, Rakyat Melarat [1] 
dan  akan  disampaikan dalam  forum Serial Diskusi Nusantara (SDN), FORCI Development.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...