TOPENG PERLAWANAN SUBCOMANDANTE MARCOS

Membisu maka suara kita meluruh….

Topeng balaclava tak pernah lepas menutup seluruh wajahnya. Tak ketinggalan juga ceruta yang selalu menempel erat di mulutnya, ikut kemana pun ia pergi. Dunia pun terus bertanya-tanya, “siapa orang dibalik topeng itu?” Pertanyaan itu terus berkecamuk dan menimbulkan berbagai spekulasi hingga sekarang tentang siapa si misterius dibalik topeng itu. Tak ada jawaban pasti, hanya sekedar terkaan belaka yang sangat sulit dibuktikan kebenarannya. Orang dibalik topeng itu bisa saja berganti setiap waktu sesuai keadaan tanpa ada yang tahu. “Subcomandante Marcos hanyalah sebuah simbol bagi perlawanan masyarakat adat,” tegas orang dibalik topeng itu.

Banyak pihak memperkirakan, orang dibalik topeng itu adalah salah satu professor muda di salah satu universitas di Meksiko. Ada lagi yang mengatakan, ia adalah mantan gerilyawan marxis yang telah lama menghilang dan sekarang muncul kembali dengan wajah baru. Namun, itu hanyalah rekaan saja karena tak ada yang tahu siapa sebenarnya Subcomandante Marcos itu. orang dibalik topeng balaclava itu juga tak pernah mau membuka topengnya kepada siapa pun sehingga misterinya tetap terjaga. Apalagi, semua pasukan pemberontak (EZLN) memakai topeng yang mirip dengannya. Tanpa wajah, hanya mata saja yang terlihat karena Subcomandante Marcos sejatinya adalah simbol perlawanan. Simbol perlawanan yang apabila eksistensinya dimatikan, maka pemberontakannya akan terus hidup karena tidak bergantung pada satu orang tapi keputusan bersama (klandestine).

Subcomandante Marcos. Inilah nama yang membuat seluruh dunia tercengang pada 1 Januari 1994. Tanggal yang bertepatan dengan pemberlakuan North America Free Trade Agreement (NAFTA) di Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko. Di Chiapas, Meksiko, Subcomandante Marcos mengumumkan adanya pemberontakan masyarakat adat dengan anam Ejercito Zapatista Liberacion Nacional (EZLN) terhadap pemerintahan. Tepat pergantian tahun, mereka menyerbu San Cristobal de Las Casas (Balaikota Chiapas) untuk melakukan pemberontakan dan mengumumkannya ke berbagai kantor berita di dunia.

Penyerbuan itu berlangsung sukses dan seluruh dunia pun langsung mengetahuinya. Tak hanya itu saja, mereka juga membuat seluruh dunia kaget karena gerakan ini tak pernah diduga akan muncul sebelumnya. Dengan status sebagai pemberontak, EZLN terus melakukan perlawanan terhadap rezim neoliberal di Meksiko. Tanpa henti, dibawah komando Subcomandante Marcos, EZLN terus melawan rezim yang hanya menginginkan penggunaan logika pasar dalam kehidupan. Anehnya, meski pemberontak, EZLN tak ingin menjadi penguasa atau mengganti ideologi negara Meksiko. Mereka memperjuangkan demokrasi, kebebasan, dan keadilan dengan dibukanya ruang publik yang bebas intervensi. ”Bendera, UUD, lagu kebangsaan, pahlawan-pahlawan nasional: hal-hal yang sering dianggap usang inilah yang memberi jiwa gerakan Zapatista,” tegas Comandante Ramona pada Februari 1994.

Bagi EZLN, pemberlakuan NAFTA merupakan hukuman mati terhadap petani kecil dan masyarakat adat. Neoliberalisme sebagai ideologi pasar merupakan ancaman bagi eksistensi masyarakat adat karena kehidupan tak hanya dinilai dari uang. Neoliberalisme menghancurkan eksistensi masyarakat adat karena mereka harus memrivatisasikan tanah adat yang sejatinya tak sekedar tempat berpijak. Didalamnya mengandung memori, harapan, dan sejarah masyarakat adat. Ini adalah sebuah kejahatan yang sungguh kejam dengan topeng keuntungan material. Selain itu, neoliberalisme juga juga akan meminggirkan kelompok minoritas karena mereka dipaksa untuk sama atau seragam dengan menghilangkan identitas yang melekat pada dirinya. “Zapatismo bukanlah suatu ideologi. Ia bukan doktrin terima jadi…karena di tiap tempat jawabnya berlainan. Zapatismo semata mengajukan tanya sambil menegaskan bahwa pluralislah jawabannya, inklusiflah jawabannya…” papar Subcomandante Marcos dalam sebuah komunikenya.

Dengan gaya khasnya, Subcomandante Marcos terus melancarkan “serangan” mematikannya ke seluruh dunia. Dunia pun dibuat marah, terkejut, dan terkagum-kagum dengan “bom” yang terus ia hujankan. Dari tempat yang tak pernah terdeteksi di pedalaman hutan belantara Chiapas, “bom” dengan denominator melebihi kekuatan nuklir itu terus ia lontarkan tanpa henti. Tak ada korban jiwa yang jatuh, hanya kuping panas rezim pro pasar dan dukungan dari seluruh penjuru dunia yang mengalir menanggapi “bom” yang ia lontarkan. Apakah senjata mematikan itu? Neil Harvey dalam tulisannya yang berjudul The Political Nature of Identities, Borders, and Orders: Discourse and Strategy in the Zapatista Rebellion mengatakan, senjata mereka adalah kata-kata.

Kata adalah Senjata

Dalam keheningan orang-orang adat ini melihat dan dilihat. Dalam keheningan mereka merasa angin dari bawah sedang bertiup. Dalam keheningan orang-orang adat ini tahu…

Banyak yang bilang, nuklir adalah senjata paling mematikan di dunia. Kekuatan dan dampaknya dapat menghancurkan dunia beserrta isinya. Namun, hal ini tak berlaku bagi para pemberontak EZLN. Senjata paling mematikan bagi mereka adalah kata-kata. Dengan kata, dunia yang ada saat ini tercipta. Segala sesuatu ada karena kata. Dengan kata, pengetahuan seseorang dapat terisi. Seperti yang diutarakan filsuf Perancis, Michael Foucault, power is knowledge. Hal ini juga ditegaskan Subcomandante Marcos, sejnta utama mereka adalah kata yang bisa mengubah dunia berserta isinya. “Kata adalah senjata,” tegasnya.

Dengan puisi dan cerpennya, gerakan Zapatista “menyerang” seluruh belahan dunia tanpa terkecuali. Cerpen karya Subcomandante Marcos tentang kisah seekor kumbang kecil yang melawan neoliberalisme berjudul Durito adalah karya monumentalnya. Bahkan, di harian La Jornada, Subcomandante Marcos bersahut-sahutan menulis cerpen bersambung dengan salah satu sastrawan Meksiko. Subcomandante Marcos juga secara rutin mengirimkan komunike EZLN ke seluruh dunia melalui saluran internet. Tulisan tentang Durito dan komunike ini mengilhami berbagai macam pemikiran tentang pentingnya ruang publik dan penghentian marjinalisasi kelompok minoritas. Secara keseluruhan, EZLN mengilhami berbagai macam gerakan anti-neoliberalisme. Salah satu bukti nyatanya adalah adanya protes dalam setiap KTT WTO, G-8 (sekarang berganti G-20), serta lainnya.

Namun, tanda tanya besar senantiasa muncul tentang gerakan kata-kata mereka. Bagaimana cerpen atau komunike itu bisa tersebar ke selutruh dunia karena belantara Chiapas tak terhubung dengan saluran komunikasi dan informasi? Bagaimana komunike itu ditulis menggunakan data-data terbaru karena mereka tinggal di tengah hutan belantara? Bagaimana cara mereka bisa berkomunikasi dengan dunia luar?? Inilah beberapa pertanyaan penting yang samapi sekarang belum bisa terjawab. Hidup di tengah hutan belantara tapi dapat terus mengakses informasi dan merespon keadaan dunia kontemporer secara detil.

Dengan kata-kata, Zapatista dan Subcomandante Marcos berusaha melawan hegemoni dunia yang berpaham neoliberalisme. Bagi Zapatista, masyarakat adat harus tetap mendapatkan hak mereka secara penuh dan tetap dihormati sebagaimana adanya. Meskipun minoritas, masyarakat adat adalah bagian dari dunia, begitupula kelompok-kelompok marjinal lainnya. Mereka harus dapat tempat semestinya tanpa harus dipinggirkan oleh kekuasaan. Keseragaman hanya akan memperburuk wajah dunia. Dunia akan tampak lebih indah dengan keragaman yang ada didalamnya. Selain itu, keberadaan negara adalah sesuatu yang penting untuk melindungi rakyatnya. Negara tak boleh jatuh ke tangan pemilik modal agar kepentingan semua pihak bisa terpenuhi. Bukan sekedar akumulasi kapital saja. Karena itu, dunia yang lain adalah mungkin…

Referensi:
  1. Fauzi, Noer et al (eds.), Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga (Yogyakarta: Resist Book, 2005)
  2. Justice, Jason, Opposing NAFTA: International Opposition to the Northa American Free Trade Agreement (Edinburg: Haymarket Press, 1996)
  3. Marcos, Subcomandante, Atas dan Bawah: Topeng dan Keheningan, terj. Ronny Agustinus (Yogyakarta: Resist Book, 2005)
  4. ____________________, Kata Adalah Senjata, terj. Ronny Agustinus (Yogyakarta: Resist Book, 2006)
  5. Lapid, Yosep, et. al (eds.). 2001. “Identities, Borders, and Orders: Rethinking International Relations Theory”. London: University of Minnesota
  6. Ronfeldt, David F. dan John Arquila, The Zapatista “Social Netwar” in Mexico (RAND Publication, 2001)
Ditulis oleh: Arif Setiawan
Diambil dari: JURNAL HURIA
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...